counceling

konseling karir

Posted on: Juni 30, 2009

PENDEKATAN MULTIKULTURAL BERDASARKAN NILAI PADA KONSELING KARIR DAN ADVOKASI
Pada tahun 1987, ketika berperan sebagai presiden dari National Career Development Association, saya mempunyai sebuah kesempatan untuk mebahas berbagai permasalahan yang dihadapi konselor karir dari seluruh Amerika Serikat, khususnya permasalahan mengenai perubahan demografis di Negara ini dan pengaruhnya akan berada pada konseling secara umum dan secara khusus pada konseling karir. Saya sudah membaca dan menolak beberapa ide mengenai betapa baiknya mengangkat permasalahan mengenai konseling lintas budaya. Saya pernah mengalami pada sebuah laporan konsultan bahasa Inggris yang membantu rancangan pemerintahan Afrika megenai intervensi pelayanan kesehtan yang gagal dengan sangat buruk. Penulis yang sekarang telah dilupakan menyimpulkan bahwa langkah pertama dalam proses tersebut harus memiliki akses pada nilai orang yang akan dibantu dan kemudian merancang intervensi. Saya tahu bahwa Don Super telah menekankan pentingnya nilai di beberapa tulisannya ini namun tidak pernah mengangkatnya pada tingkat konstruksi yang utama.
Pada tahun 1988, saya memulai kursus kilat dalam pekerjaan dan nilai manusia dengan membaca banyak artikel penelitian mengenai nilai-nilai tersebut. Beberapa diantaranya membahas perbedaan nilai dalam berbagai budaya, termasuk pengaruh nilai tersebut yang ada pada proses pengambilan keputusan, penuntasan pekerjaan, dan lain-lain. Saya juga menemukan bahwa beberapa orang dalam bidang komunikasi telah berfokus pada berbagai gaya komunikasi berdasarkan perbedaan dalam nilai-nilai budaya. Bab ini merupakan puncak dari proses panjang pada penemuan dalam sebuah usaha untuk mengetahui betapa efektif, dan bagaimana konseling karir sensitif dapat ditawarkan dalam sebuah konteks lintas budaya.
Pada bab 2 dan 3, tujuh pilihan karir dan teori perkembangan disajikan bersamaan dengan saran untuk penerapannya dalam konseling karir dan pemprogaman perkembangan karir. Tiap aplikasi secara singkat dikritik dengan hubungannya pada penggunaannya untuk kelompok daripada dengan perwakilan budaya yang dominan, yang biasanya orang kulit putih dengan eurosentris berwawasan dunia. Tiap pendekatan ini dibahas dalam bab 2 dan 3 memiliki jasa dan beberapa diantaranya dapat diterapkan lintas budaya (misalnya, pendekatan post modern). Pada bab ini sebuah pendekatan multikultural pada konseling karir disajikan, yang secara luas berdasarkan pada teori pilihan pekerjaan berdasarkan nilai milik Brown (2002). Tujuan presentasi ini adalah menyediakan sebuah pendekatan yang mendalam dan rinci pada konseling karir. Presentasi ini diikuti dengan sebuah bagian yang fokus pada pemberian bantuan pada siswa dan orang lain membangun pendekatan mereka sendiri pada konseling karir.
Selengkapnya dalam pembahasan multikulturalisme, dan ekstensinya pada konseling, adalah pesan bahwa konselor kulit putih perlu belajar mengenai budaya etnis dan ras minoritas, orang cacat, gay, lesbian, biseksual, dan penyimpangan seksual, dan menerapkan pengetahuan ini dengan sebuah pendekatan yang sensitif pada konseling. Pertimbangkan kemungkinan yang sangat nyata pada konselor lesbian yang suatu hari memasuki kantornya untuk mencari orang kulit putih, lelaki Kristen percaya bahwa homoseksualitas adalah sebuah dosa dan dengan bebas mengekspresikan pandangan tersebut dengan semua orang. Satu kemungkinannya adalah pada konselor yang mengacu pada klien yang dengan profesi lain jika dia mengetahui pandangannya menjijikan sehingga dia tidak dapat mengendalikan objektivitasnya. Lainnya adalah mencoba untuk membantu memahami wawasan dunianya, mengembangkan sebuah hubungan kerja dengannya, dan mencoba membantu permasalahan karirnya. Poinnya disini adalah yang sederhana. Dalam budaya yang bermacam-macam seperti konselor kita, semua konselor, tanpa memperhatikan ras, etnis, atau wawasan dunia, membutuhkan sebuah pendekatan multikutltural pada konseling karir.

Definisi Karir Konseling
Terdapat konvergensi dalam definisi konseling karir, sebuah proses yang mungkin diawali dengan penerimaan gagasan Super (1980) yang berhubungan dengan sifat interaktif peranan kehidupan. Pada tahun 1991, Linda Brooks dan saya (Brown dan Brooks, 1991) mendefinisikan konseling karir sebagai sebuah proses yang bertujuan untuk memberikan fasilitas pada perkembangan karir dan mungkin melibatkan pemilihan, pemasukan, penyesuaian, atau kemajuan dalam sebuah karir. Kita mendefinisikan permasalahan karir sebagai keragu-raguan yang berkembang karena terlau sedikitnya informasi, keragu-raguan yang tumbuh karena kebimbangan pilihan; ketidakpuasan pada performa pekerjaan; ketak sejenisan antara orang dan peranannya dalam perkerjaan; dan ketak sesuaian antara peranan dan peranan kehidupan lain, seperti keluarga atau waktu luang. The National Career Development Association (NCDA, 1997) menerapkan sebuah definisi yang sama namun lebih sederhana. Organisasi ini mendefinisikan konseling karir sebagai sebuah ‘proses membantu seseorang dalam perkembangan sebuah kehidupan karir dengan sebuah focus pada definisi peranan pekerja dan bagaimana peranan tersebut berinteraksi dengan peranan kehidupan yang lainnya’ (hal.2). sebagian besar isinya, definisi ini merefleksikan posisi yang diambil oleh Gysber, Heppner, dan Johnston (2003); Admunson (2003); dan para ahli teori postmodern lainnya yang mungkin mengambil permasalahan dengan gagasan yang lengkap dalam definisi karena mereka terlihat menganggap bahwa terdapat batasan yang muncul diantara dan ditengah-tengah peranan kehidupan, sebuah anggapan yang akan menjadi tidak konsisten dengan pandangan perspektif holistic mereka.
Seperti yang telah digambarkan pada bab 2 dan 3, mekanisme konseling karir, termasuk pendekatan pada hubungan, penilaian, dll, berbeda-beda berdasarkan pada teori yang diterapkan. Gysber dkk (2003) mengembangkan sebuah taksonomi tugas-tugas yang muncul dalam konseling karir secara simultan dengan proses pengembangan sebuah perserikatan kerja. Tugas ini termasuk mengidentifikasi permasalahan yang disajikan; menyusun hubungan konseling; mengembangkan sebuah ikatan konselor-klien; mengumpukan informasi mengenai klien, termasuk informasi personal dan pengendalian kontekstual; pengaturan tujuan; seleksi intervensi; pengambilan tindakan; dan evaluasi hasil. Seperti yang akan ditunjukan nanti, model konseling multikultural digarisbesarkan pada bab ini menerima sebagian besar gagasan yang berhubungan dengan struktur konseling karir ini dengan perubahan kecil.

Landasan Pendekatan Bedasarkan Nilai
Terdapat tiga aspek budaya. Dimensi universal yang berarti kesamaan dalam kelompok. Dimensi cultural umum yang berarti sifat sebuah kelompok tertentu dan biasanya mengacu pada etnis, sejarah kelompok tertentu, nilai-nilai, bahasa, kebiasaan, agama, dan politik. Terdapat lebih dari 200 kesatuan bangsa dan 5000 bahasa di dunia. Kelompok yang besar ini dapat dipecah menjadi kelompok-kelompok yang tidak dapat dihitung. Mungkin saja untuk bagi konselor karir di Amerika Serikat untuk mempelajari apa yang dimaksud dengan generalisasi budaya pada kelompok mayoritas di Negara ini. Aspek ketiga dari budaya adalah dimensi personal. Dimensi personal budaya dicerminkan dalam wawasan dunia individu dan didasarkan pada tingkatan dimana nilai budaya yang umum dan wawasan dunia telah diterapkan oleh individu tersebut. Proses di mana hal ini muncul disebut enculturation dan hasilnya adalah perkembangan identitas ras/etnis. Perkembangan ras/etnis, yang merupakan sebuah proses yang berkesinambungan, menghasilkan dalam sebuah wawasan dunia (Peace Corps, 2005). Sebuah wawasan dunia seseorang meruapakan dasar bagi persepsinya mengenai realitas (Ivey, D’andrea, Ivey dan Simek-Morgan, 2002). Generalisasi budaya, yaitu, menganggap bahwa sifat seseorang menyerupai sifat kelompok yang lebih luas, yang sedang meniru-niru dan harus dihindari (Ho, 1995). Warna kulit, pakaian, etnis, kepercayaan agama, kebiasaan, atau penghormatan tradisi tidaklah mewakili budaya personal.
Seperti telah dibahas pada bab 2, terdapat dua landasan filosofis yang luas untuk teori dan pendekatan kita; positifisme logis dan postmodernisme. Ivey dkk (2002) menerapkan sebuah tiang penyokong postmodern untuk pendekatan umum mereka pada konseling multikultural karena hal ini mengakomodasi sebuah ‘pandangan yang keserbaragaman’ (hal 7). Kenyataannya, post modernisme mengakomodasi sebuah angka yang tak terbatas pada pandangan karena tiap orang dirasakan memiliki sebuah wawasan dunia yang unik. Tidak mengejutkan, pandangan postmodernisme yang diberikan, tidak ada panduan pada kebenaran karena kebenaran adalah tidak dapat diketahui. Karena tidak ada panduan kebenaran, nilai-nilainya situasional, tidak universal. Ini merupakan pandangan perspektif yang tidak bernilai yang membawa Prilleltensky (1997) untuk menolak postmodernisme sebagai sebuah landasan filosofis untuk pelaksanaan psikologi. Pernyataan yang tegas di sini adalah bahwa konseling karir dan advokasi klien berakar dalam sebuah system yang luas yang eksplisit dalam sebuah budaya yang demokratis, dan nilai-nilai ini mempengaruhi pekerjaan kita. Baru-baru ini, saya dihadapkan pada sebuah situasi dimana seorang siswa SMA keturunan china-amerika berada di luar sekolah untuk berkerja di restoran keluarga. Orang tuanya percata bahwa tindakannya dengan sempurna sejalan dengan wawasan dunianya, namun perilakunya berada dalam konflik dengan wawasan dunia saya dan hukum di Negara bagian North Carolina. Konseling karir tidak dapat menjadi sebuah keberanian bebas nilai. Misalnya, jika saya mengambil relatifitas pandangan perspektif pada nilai-nilai pendekatan postmodernisme ke dalam sebuah sesi konseling karir dengan seorang lelaki asli Amerika yang tidak berakulturasi dan membantunya membangun sebuah perencanaan karir berdasarkan wawasan dunianya. Saya mungkin menganjurkan klien pada majikan yang prospektif, namun saya juga menemukan saya sendiri menginterpretasikan nilai-nilai majikan dan membantu klien melanjutkan untuk memberikan hadiah pada pandangannya sendiri sambil menerapkannya pada tempatnya bekerja sehingga dia dapat menemukan pekerjaan yang berarti.
Pada bagian teks, penilaian informal pada nilai-nilai budaya diujimenggunakan sebuah langkah awal dalam pendekatan berdasarkan nilai di sana. Mengapa menggunakan nilai budaya daripada variabel seperti mengidentifikasi perkembangan? Ivey dkk (2002) membahas perkembangan identitas individu dalam istilah 5 tingkat dan 10 faktor, termasuk orang yang telah disebutkan pada bagian pembuka bab ini. Konseling karir, tidak seperti psikoterapi, seringkali memerlukan proses jangka pendek. Nilai-nilai budaya lebih mudah dinilai daripada perkembangan identitas; nilai untuk proses, seperti enkulturasi dan akulturasi; dan dipahami dengan mudak oleh konselor dan juga klien. Mereka juga dapat menyediakan landasan untuk pemilihan teknik konseling yang sesuai, alat-alat penilaian, dan intervensi (Brown, 2002).
Apa yang seharusnya termasuk dalam sebuah pendekatan multikultural konseling karir? Bingham dan Ward (2001) menyarankan tujuh komponen bagi sebuah pendenkatan pada konseling karir untuk orang keturunan Afrika Amerika. Tujuh komponen ini tersaji di sini, dengan beberapa modifikasi, termasuk penambahan advokasi (Bingham dan Ward, 2001, hal, 59-60). Sebuah pendekatan pada konseling karir multikutural harus menyediakan landasan untuk:
1. Penilaian variabel budaya
2. Sebuah hubungan yang sesuai secara budaya
3. Pemberian fasilitas pada proses pengambilan keputusan
4. Identifikasi permasalahan karir (penilaian)
5. Pembentukan tujuan yang sesuai secara budaya
6. Pemilihan intervensi yang sesuai secara budaya
7. Implementasi dan evaluasi intervensi yang digunakan
8. Advokasi

Konseling Karir Multikultural Berdasarkan Nilai
Langkah 1: Menilai Variabel Budaya
Pada bab ini dan dua bab sebelumnya, beberapa nasehat yang berhubungan dengan pembuatan nilai yang tidak diberitahukan mengenai budaya dari seorang individu telah diluncurkan. Namun, pertimbangkan situasi ini. Duduk di dalam kantor anda, anda mencatat bahwa anda mempunyai janji dengan Lawrence Singh. Anda tahu bahwa Lawrence Singh adalah nama yang sangat wajar di India, sama halnya dengan Smith di Amerika serikat. Namun, nama pertama yang eurosentris, Lawrence, menyarankan kemungkinan bahwa keluarganya telah terakulturasi dan mengadopsi nilai-nilai eurosentris. Jika anda akan sensitif secara budaya, apa yang anda lakukan? Saran di sini adalah bahwa anda memperlihatkan dilemma anda pada Lawrence, mungkin dimulai dengan, “saya tertipu dengan nama anda”. Singh adalan nama yang wajar di Asia dan Lawrence jelas sekali merupakan nama orang Amerika. Ceritakan pada saya bagaimana hal tersebut bisa terjadi?”. Skenario lainnya mungkin bahwa anda duduk di kantor anda dan seorang nenek mucul dengan seorang siswa yang nama belakangnya adalah Ho. Jelas bahwa dia ingin duduk dalam sebuah konferensi untuk membahas pilihan karir tuan Frederick Ho, and mungkin ingin menanyakan dua pertanyaan. Yang pertama berhubungan dengan siapa yang akan menjadi pengambil keputusan. Dalam banyak budaya keluarga membuat keputusan karir dan sang nenek mungkin mewakili keluarga; jadi, anda mulai “saya sadar bahwa pada banyak keluarga keturuan Asia Amerika keluarga memilih pekerjaan untuk anak-anak mereka. Sebelum kita mulai, saya ingin menghargai jika anda mau membantu saya memahami siapa yang akan mengambil keputusan dalam permasalahan tuan Frederick.” Anda mungkin juga memuji sang nenek karena kemauannya untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemilihan karir dan menanyakan jika pada kenyataannya dia mewakili keluarga. Sangatlah penting jika keluarga menjadi pengambil keputusan yang tidak disarankan konselor karena akan lebih sesuai jika Frederick mengambil keputusannya karirnya sendiri.
Terdapat alat lain untuk menentukan afiliasi budaya -misalnya, bahasa yang digunakan dirumah, kebiasaan, dan tradisi yang diteliti, afiliasi budaya teman-temannya, afiliasi budaya orang tuanya, dan bagian komunitas di mana klien bertempat tinggal – tidak ada yang sangat tepat (Garrett dan Pichette, 2000; Thomason, 1995). Wawancara konseling karir yang pertama mungkin harus berfokus pada variabel ini jika ketidak tentuan mengenai afiliasi budaya muncul pada diri klien.

Langkah 2: Gaya Komunikasi Dan Membentuk Hubungan
Salah satu gambaran yang paling kuat pada bagaimana ketaksensitifan dalam komunikasi dapat muncul disajikan oleh Basso (1979) dalam sebuah vignette yang melibatkan seorang lelaki kulit putih dan seorang lelaki dari suku Apache. Si lelaki kulit putih menyapa si Apache dengan sebuah pukulan ringan di punggung. “hallo, kawan. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja kan?” mereka melanjutkannya di rumah si kulit putih dan si kulit putih berkata, “lihat siapa ini; ini adalah si orang kecil. Masuk dan duduklah. Kamu lapar?” kemudian melihat si orang kecil, si kulit putih melanjutkan. Dari keseluruhannya terdapat delapan kesalahan dalam komunikasi lintas budaya dalam percakapan ini. Menggunakan istilah kawan dianggap sebagai kelancangan dan,oleh karena itu, tidak sesuai. Menyakan kabar seseorang mungkin menyebabkan penyakit menurut kepercayaan beberapa orang Apache. Si kulit putih mungkin menganggapnya basa-basi karena ingin menyuruh untuk “duduk”. Mengulang sebuah pertanyaan terlihat kasar bagi banyak suku Apache. Orang tersebut mungkin terlihat bodh karena kelunya lidahnya. Membuat kontak mata langsung dianggap agresif dalam budaya Apache dan banyak lagi lainnya. Akhirnya, menyentuh masyarakat dianggap tidak sopan oleh banyak anggota suku Apache, seperti halnya menggunakan nama asli Amerika tanpa menanyakan apakah hal tersebut tepat atau tidak. Dengan jelas, lelaki kulit putih dalam percakapan ini tidak menganggap perlunya untuk mengubah gaya berkomunikasinya sehingga dapat diterima oleh suku Apache.
Table 4.1
Pendekatan SOLER dalam konseling
Pada contoh sebelumnya individu yang berkulit putih membuat dua kesalahan dalam perilaku non verbalnya (menyentuh dan kontak mata) dan enam dalam gaya komunikasi verbalnya. Lihatlah akromin SOLER (Egan, 1994), menggambarkan pada table 4.1, yang wajar digunakan untuk menggambarkan pendekatan ang harus diambil konselor dalam pelatihan dalam pekerjaannya sebagai konselor. Pada akronim ini telah ditambahakan FE facial Expression (ekspresi wajah), dan sebuah kesusasteraan oleh Carter (1991). Hal ini harus dicatat bahwa hal ini merupakan nilai-nilai yang digeneralisasi dan tidak boleh diinterpretasikan sebagai system nilai personal anggota pada kelompok ini. Karta Kluckhorn dan Strodtbeck, Carter, dkk (misalnya, Ho, 1987, Sue dan Sue, 2000) mengungkapkan bahwa nilai ini seringkali dapat dihubungkan dengan kelompok yang terdaftar pada table 4.2 namun dalam variasi kelompok dalam nilai dapat di dipertimbangkan.
Table 4.2 nilai-nilai yang digeneralisasi pada ras mayoritas/kelompok etnis di Amerika Serikat
Seperti yang tercatat pada bab 2, nilai, apakah mereka merupakan nilai budaya, nilai karya, atau nilai yang lebih umum, sangat menghargai kepercayaan (Rokeach, 1973). Mereka merupakan landasan dimana kita menilai performa kita sendiri dan penaksiran kita akan orang lain. Mereka juga merupakan landasan utama untuk penetapan tujuan. Nilai-nilai budaya merupakan dasar dari etnosentrisme, atau kepercayaan bahwa budaya individu sendiri lebih baik dari yang lainnya. Seperti yang dicatat pada table 4.2 terdapa lima nilai budaya yang mendasar. Yaitu pentingnya pengendalian diri, waktu, aktifitas, hubungan social, dan hubungan manusia dengan alam. Kelompok yang memiliki sebuah penghargaan nilai pengendalian diri yang tinggi mungkin enggan untuk memperlihatkan informasi mengenai pemikiran dan perasaannya, padahal kelompok dengan sebuah nilai pengendalian diri menengah mungkin memiliki perhatian yang kurang mengenai tipe penyingkapan diri ini.
Nilai hubungan social secara khusus penting dalam konseling karir karena mungkin merefleksikan tempat pengambilan keputusan (secara individu, keluarga, atau kelompok) dan mungkin juga menghubungkan pada gaya komunikasi yang diinginkan (Basso, 1990; Kim, Shin dan Cai, 1998). Individu dengan nilia social kolateral yang mungkin menunda keluarga atau kelompok dalam memilih karir atau, setidaknya, mungkin memperhatikan harapan yang lainnya. Dan sebaliknya, orang yang memegang nilai social individu cukup mungkin membuat keputusan mereka sendiri. Ada satu implikasi lain mengenai hubungan social. Khususnya, direkomendasikan bahwa hubungan ini menjadi kolateral secara alami, sebuah hubungan yang setara. Namun, beberapa subgroup, termasuk banyak orang china, asia Indian, dan jepang, menilai yang diistilahkan dengan hubungan social lineal kolateral (sue dan sue, 2000). Orang yang memegang nilai ini mungkin lebih nyaman dalam hubungan hirarki, dengan konselor dalam sebuah posisi otoritas.
Nilai waktu dan aktifitas paling memungkinkan untuk mempengarhui sifat intervensi yang dipilih dan berkontribusi pada implementasi intervensi. Individu dengan orientasi melakukan pekerjaan dimasukan untuk memecahkan kembali permasalahan ketika mereka mempresentasikan diri mereka sendiri, sedangkan orang dengan orientasi ‘menjadi’ mungkin tidak segera menangkap permasalahan, seperti kebutuhan untuk memilih sebuah pekerjaan atau untuk mengamankan pekerjaan saat lalai. Orang yang memegang pandangan perspektif eurosntris beroperasi dengan dasar kalender, jam, tenggat waktu, dan batas waktu. Perbedaan antara orang dengan orientasi masa depan dan masa lalu adalah perhatian yang diberikan pada factor seperti sejarah keluarha dan tradisi budaya dalam menentukan pilihan. Orang dengan orientasi waktu yang berputar tidak berorientasi pada kalender, dan jam. Namun mereka mengukur waktu dalam peristiwa yang alami, seperti musim dalam setahun. Individu dengan orientasi masa sekarang mungkin cenderung menikmati momen tersebut. Dalam beberapa contoh, orang yang menggunakan orientasi masa sekarang percaya bahwa mereka memiliki sedikit kendali atas masa depan. Nilai hubungan manusia dengan alam mungkin memiliki sedikit pengaruh pada perkembangan karir kecuali jika klien percaya bahwa ala mendominasi, dan oleh karena itu, mereka kurang mengontrol takdir mereka (Brown, 2002).
Nilai-Nilai dan Teknik Konseling table 4.3 menyajikan gaya verbal yang lebih disenangi pada kelompok budaya mayoritas di Amerika Serikat. Seperti halnya permasalahan dengan perilaku nonverbal, gayanya sangatlah berbeda. Ketika diambil bersamaa dengan variasi dalam gaya nonverbal yang diinginkan, konselor bekerja dalam aturan yang berbeda menghadapi tantangan yang sesungguhnya dala, gaya komunikasi yang dapat diterima dan memilih teknik konseling yang akan memfasilitasi proses konseling karir mereka. Misalnya, teknik konseling seperti refleksi perasaan, menggali pertanyaa mengenai pemikiran dan perasaan, dan pertanyaan yang menanyakan penyingkapan kepribadian mengenai anggota keluarga yang mungkin tidak sesuai pada kelompok yang mempunyai tingkat perhatian yang tinggi terhadap pengendalian diri (Ivey, dkk, 2002, Srelabus dan Brown, 2001). Dengan cara yang sama, strategi penilaian yang melibatkan inventaris personal yang meminta informasi personal dan strategi penilaian kognitif yang memerlukan klien agar menyingkapkan pemikiran mereka mungkin sebaiknya dihindari. Poin yang dibuat sebelumnya bahwa gaya komunikasi yang diinginkan mungkin berhubungan dengan nilai social yang berguna, namun sepertinya nilai budaya lain, seperti pengendalian diri, juga memainkan peranan dalam menentukan gaya komunikasi budaya.
Table 4.3
Gaya verbal kelompok cultural mayoritas di Amerika Serikat

Langkah 3: memfasilitasi proses pengambilan keputusan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, langkah pertama dalam memfasilitasi pengambilan keputusan karir adalah menentukan siapa yang akan membuat keputusan. Langkah selanjutnya adalah untuk menentukan harapan konselor pada pengambil keputusan dan harapan konselor terhadap klien dan keluarganya. Jika keluarga atau kelompok yang akan mengambil keputusanm mereka mungkin menginginkan informasi yang lebih mengenai kesempatan pendidikan, sumber keuangan, dan kesempatan bekerja. Mereka tidak mungkin meminta bantuan dalam menilai sifat siswa, namun konselor karir mungkin ingin untuk menanyakan apakah mereka telah mempertimbangkan kemampuan mereka, ketertarikan mereka, dan nilai-nilai mereka. Saya telah mewawancarai sejumlah orang yang memiliki keputusan awal karir yang dibuat untuk mereka, dan jarang yang merupakan ketertarikan atau bakat mereka disamping bakat akademik yang dipertimbangkan dalam proses ini. Prestis pekerjaan terlihat semakin menjadi perhatian yang semakin besar bagi orang tua yang membuat keputusan ini.
Satu masalah yang hampir tidak dapat dielakkan bagi para konselor karir melibatkan percekcokan antara para orang tua dan anak-anak mereka tentang siapa yang akan membuat pilihan karir. Seseorang yang telah menyesuaikan diri dengan lingkungan mungkin akan memberontak ketika orang tua mereka memberitahukan pilihan mereka tentang karir, dan para siswa dan para orang tua mungkin akan berkonsultasi dengan konselor karir untuk mendapatkan bantuan. Para konselor karir yang secara normal melibatkan para para orang tua dalam pilihan tentang pekerjaan manakala para orang tua percaya bahwa mereka telah tidak dihormati.

Langkah 4: Identifikasi Persoalan Karir (Tugas)
Seseorang akan berharap bahwa dalam model VBMCC, tugas awal akan melibatkan penilaian kebudayaan, kerja dan niali-nilai gaya hidup. Meskipun, beberapa klien yang memulai koseling karir tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar mereka untuk makanan, pakaian dan tempat tinggal. Manakala ini adalah persoalannya, konselor karir mungkin perlu untuk menggunakan bantuan dalam jangka pendek untuk mengidentifiksi sumber-sumber pekerjaan yang cepat dan pengembangan dari keahlian pekerjaan. Taktik-taktik semacam mengidentifikasi tempat tinggal, mendaftar dukungan agensi layanan sosial, dan mengidentifikasi sumber-sumber perawatan kesehatan yang mungkin dibutuhkan. Konseling karir konvensional dengan menggunakan model VBMCC dapat mengikuti apa yang dapat diistilahkan paling baik yakni konseling karir krisis.
Model VBMCC cukup fleksibel bahwa dalam jumlah berapapun perlengkapan pengujian dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan; ketertarikan; variabel personalia; pengendalian diri, seperti ketidakmampuan, permasalahan kesehatan mental; stereo-tipe peranan jenis kelamin yang kaku, atau harapan-harapan diskriminasi; dan paksaan konstekstual, seperti harapan-harapan kesukuan dan keluarga, isolasi secara geografis, dan lain-lainnya. Pada bab 6 alat pengujian kualitatif dan kuantitatif dibahas secara detail. Meskipun begitu, tiga alat pengujian kualitatif yang kreatif dan sudah ada digabungkan oleh Amundson (2003) diuraikan pada poin ini karena secara khusus terkait dengan klien non-tradisional.

Pola identifikasi. Menurut strategi penilaian pola identifikasi, individu berpikir tentang sebuah aktifitas dari satu peranan hidup yang mana dia telah berpartisipasi. Ketika aktifitas itu teridentifikasikan, seorang klien akan diminta untuk berpikir tentang kapan waktu yang nyaman dan tidak nyaman untuk melakukan aktifitas. Para klien diminta untuk menggambarkan pengalaman mereka baik yang positif maupun yang negative, orang-orang yang terlibat di dalamnya, dan faktor-faktor yang membuat pengalaman itu menjadi positif atau negative, dan lain sebagainya. Amundson (2003) menyarankan bahwa menyarankan bahwa poin yang menonjol dari penggambaran aktifitas dicatat pada sebuah grafik menurun setelah cerita itu selesai. Manakala fase ini telah selesai, klien diminta untuk melakukan sebuah analisa pola dengan melihat pada informasi yang tercatat dan menceritakan bagaimana setiap bagian dari data tersebut menunjukkan ketertarikan, nilai, dan gaya pribadi. Tema seharusnya muncul dari diskusi ini, yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan tindakan. Proses ini dirangkum dalam Gambar 4.1. Admundson (2003) menyarankan bahwa sebuah pendekatan yang serupa pada analisa tugas yang melibatkan pengidentifikasian sebuah aktifitas rutin, memecahkannya dalam tugas-tugas, dan selanjutnya mengevaluasi tugas tersebut dalam kaitan dengan kepuasan yang hal tersebut ciptakan, kepentingannya, dan kompetensi individu dalam melakukan hal itu.

Gambar 4.1 Tugas Pemecahan Masalah: Penilaian diri sendiri yang sistematik

Riwayat Pencapaian. Pendekatan riwayat pencapaian melibatkan sebuah analisa mendalam dari sebuah pencapaian pribadi lebih dari satu periode waktu yang dikhususkan yang berlangsung dari beberapa minggu lalu dan sampai akhir waktu. Pola ini selanjutnya dianalisa dengan meneliti tujuan-tujuan seseorang yang mencoba untuk menyelesaikan; kemahiran dan kemampuan yang digunakan; interksi dengan konteks dimana pencapaian yang terjadi, termasuk pengekangan dan tekanan alternatif; dan emosi (tinggi dan rendah) yang dihasilkan dari pencapaian. Amundson melaporkan bahwa aktifitas ini dapat digunakan sebagai sebuah proses identifikasi keahlian (Amundson dan Poehnell, 1996), atau untuk pemahaman komprehensif yang lebih dari pribadi seseorang (Westwood, Amundson, & Borgen, 1994).

Garis Hidup. Admundson (2003) menggunakan sebuah variasi garis hidup bahwa meminta klien untuk membuat grafik dari penurunan dan kenaikan dalam kehidupan pekerjaan dan pendidikan mereka. Hasilnya merupakan gambaran kehidupan mereka yang terlihat lebiih menyerupai sebuah roller coaster, atau ketika dia menyarankan mirip dengan laporan pasar saham. Rancangan roller coaster dikembangkan oleh Borgen dan Admundson (1987) dan bisa bermanfaat dalam merangkum mengapa klien datang untuk konseling, secara khusus mereka memberikan label emosi dan keadaan yang mendorong keberadaan pada titik yang rendah dan tinggi pada garis hidup mereka.
Dengan mengetahui nilai adat-istiadat dari seorang klien membantu seorang konselor untuk memutuskan jenis alat pengujian yang akan digunakannya. Dengan memahami nilai-nilai kebudayaan menunjukkan sebuah titik permulaan untuk mengapresiasi karya dan niali gaya hidup para klien. Kelly Crace dan saya mengembangkan Inventarisasi Nilai-nilai Hidup (Crace dan Brown, 2004) yang dirancang untuk mengukur nilai kehidupan yang penting dan memberikan dasar perencanaan sebuah gaya hidup keseluruhan yang akan memuaskan nilai-nilai yang paling dihargai dari individu. Asumsi yang menggaris bawahi alat penilaian ini dan penerapan selanjutnya adalah bahwa peranan karya itu tidak mungkin untuk memuaskan asemua nilai yang dipegang; oleh karena itu, hubungan-hubungan dengan signifikan lainnya (termasuk dengan anggota keluarga), waktu luang, dan peranan warga Negara seharusnya dimasukkan dalam sebuah rencana hidup.
Wilayah lainnya yang membutuhkan pemikiran dalam proses penilaian memasukkan peranan ketidakmampuan, orientasi seksual, perhatian terhadap diskriminasi, permasalahan kesehatan mental, persoalan kelompok dan keluarga, lokasi geografis ketika ini berhubungan dengan pekerjaan yang lebih disukai, dan status sosio-ekonomi. Hal ini adalah di luar dari cakupan pembahasan ini untuk menguraikan penilaian untuk setiap dari wilayah tersebut secara mendetail. Meskipun, pertanyaan berikut ini seharusnya dijawab selama proses penilaian tentang permasalahan yang berkaitan dengan karir.

1. Apakah kamu yakin bahwa kamu dibatasi oleh latar belakang etnik/kebudayaanmu? Jika ya, apa yang menjadi dasar dari keyakinan ini? Apakah kamu telah membatasi pilihan pekerjaan kamu dengan adanya keyakinan ini? Sebagai contoh, apakah kamu telah menentukan pekerjaan yang secara tradisional dikerjakan oleh orang-orang dengan latar belakang etnik/kebudayaanmu?
2. Apakah masalah jenis kelamin telah membatasi pilihan pekerjaan yang telah kamu tentukan? Jika ya, bagaimana hal itu terjadi? Apakah harapan-harapan tersebut terkait dengan perencaan pernikahan? Karir non-tradisional apa yang telah kamu tentukan?
3. Sudahkan kamu memasukkan persoalan orientasi seksual ke dalam perencanaan karir kamu? Jika ya, bagaimana?
4. Apakah kamu mempunyai persoalan kesehatan mental yang parah? Jika ya, bagaimana masalah ini telah mempengaruhi pemikiran kamu tentang pekerjaan?
5. Pernahkah kamu didiagnosa dengan ketidakmampuan mental atau fisik? Jika ya, bagaimana diagnosa ini telah mempengaruhi pemikiran kamu tentang pekerjaan?
6. Apakah kamu bebas untuk mendapatkan pekerjaan dimanapun di Amerika Utara? Jika tidak, kenapa?
7. Apakah kamu telah membatasi pilihan pekerjaan kamu karena menitik beratkan untuk mampu memberikan persyaratan pendidikan yang dibutuhkan untuk sebuah pekerjaan?

Langkah 5 dan 6: Pembentukan Tujuan-tujuan yang Tepat Secara Kebudayaan dan Pemilihan Intervensi yang Tepat secara Kebudayaan
Tujuan-tujuan yang tepat secara kebudayaan diatur oleh individu jika dia mempunyai sebuah nilai sosial independen dan oleh atau dengan keluarga atau kelompok rekomendasi (sebagai contoh, kesukuan) jika klien mempunyai sebuah nilai sosial kolateral, semua hal yang sama. Seperti yang telah disarankan, ketika klien dan kelompok rekomendasi mempunyai nilai sosial yang berbeda, pengalaman tentang proses dan harapan yang tujuan itu sendiri mungkin bertentangan (lihat penelitian Ma & Yeh, 2005). Konselor karir selanjutnya berperan sebagai penerjemah nilai sosial, penengah, dan pendamai yang membantu pihak-pihak yang terlibat untuk mencari tujuan-tujuan yang telah disepakati yang saling menguntungkan. Ayah dari seorang teman menerima keputusan anaknya ketika sang ayah menawarkan seorang calon istri untuk anaknya. Meskipun seperti itu, sang ayah tidak mengakui anaknya ketika dia memutuskan untuk mengejar karir sebagai seorang ilmuwan sosial dari pada dalam bidang kesehatan dan menolak untuk membiayai pendidikan tinggi.
Dua perhatian tentang proses pembuatan tujuan nampak sesuai; yang satu terkait dengan teori dari Gottfredson (2002) berkenaan dengan dampak dari jenis kelamin pada pemilihan karir, dan yang lain berkaitan dengan meta-analisis dari Fouad dan Byars-Winston (2005). Teori Gorrfredson dibahas secara lebih dalam pada Bab 2 dan tidak akan dibahas kembali kecuali untuk mengatakan bahwa konselor kari seharusnya waspada terhadap dan disiaokan untuk tantangan stereo-tipe pembatasan diri. Fouad dan Byars-Winston menemukan dalam sebuah penelitian meta-analisis mereka, ketika anggota kelompok ras dan etnik menginginkan pekerjaan yang sama dengan para individu kulit putih, bahwa mereka lebih terdorong untuk merasakan halangan-halangan yang akan membuat mereka tetap menyadari cita-cita mereka. Mungkin sebuah retorika dari pertanyaan standar dari konselor karir akan seperti, “ketika tujuan dirancang, apakah kamu sudah menurunkan atau membatasi pemilihan kamu dalam pekerjaan yang kamu piker aman untuk seseorang dari etnik atau ras tertentu?” Akan tergantung pada jawaban mereka, tujuan tersebut mungkin perlu untuk disesuaikan. Gysbers dan koleganya (2003, hal. 354-355) menyarankan bahwa tujuan-tujuan konseling karir mempunyai karakteristik seperti berikut ini:

Spesifik
Terdapat hasil yang dapat diteliti
Melibatkan sebuah kerangka waktu untuk hasil yang dicapai (seperti ditulis sesuai dengan perspektif waktu klien)
Realistis, dapat dicapai
Tertulis
Tercakup dalam intervensi perencanaan

Ketika tujuan, seperti memilih sebuah pekerjaan, membuat sebuah perubahan dalam pekerjaan, atau menysusun ulang ruang kehidupan, dibentuk, intervensi yang ada harus dipilih. Dalam beberapa contoh, intervensi mungkin melibatkan penggunaan sebuah bantuan keputusan, seperti lembar keseimbangan (Janis dan Mann, 1997) yang tergambarkan pada Bab 3. Admundson dan Poehnel (1996) menggunakan sebuah teknik yang mirip dengan lembar keseimbangan yang mana mereka menyebutnya sebagai penampang pembuatan keputusan. Pendekatan sistemik yang lainnya melibatkan penggunaan sistem panduan berbasis computer atau computer-based guidance system (CAGS), seperti DISCOVER, atau sistem eksplorasi karir berbasis internet atau Internet-based career exploration system (IBCES) seperti O’NET Online (DOL, 2005), yang memungkinkan para individu untuk menemukan pekerjaan dengan menggunakan kata kunci atau kode pekerjaan. Orang-orang yang menggunakan O’NET Online mungkin juga melakukan pencarian pekerjaan dengan memasukkan daftar kemampuan mereka. Program Eksplorasi Karir atau Career Exploration Program ASVAB (Departemen Pertahanan, 2005) dapat digunakan sebagai sebuah sistem pembuatan eksplorasi karir atau secara sederhana sebagai sebuah sumber informasi. Komponen dari IBCES ini adalah;

Tugas Informasi Alat
Eksplorasi diri Mengeksplorasi karir Perencanaan untuk masa datang
Nilai-nilai Menghubungkan ketertarikan Pilihan pendidikan
Ketertarikan Informasi karir Alat perencanaan karir (karir dan tugas pendidikan)
Kemahiran, kemampuan

Juga tersedia sejumlah intervensi kualitatif, termasuk jenis kartu pekerjaan dan Penampang Pola Pencapaian atau Achievement Pattern Profiler (APP) (Admundson, 2003). APP dengan mudah dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemahiran dan ketertarikan yang secara bergantian dapat dimasukkan ke dalam O’NET Online (DOL, 2005). Pengulangan perilaku, penugasan pekerjaan rumah untuk berkonsultasi dengan para pekerja pada pekerjaan ketertarikan, mengunjungi alamat website pekerjaan, magang dan pekerjaan sampingan, simulasi, video dan cd yang menunjukkan kemahiran atau memberikan informasi, dan masih banyak strategi yang lain yang mungkin untuk diguakan untuk membantu klien dalam mencapai tujuan mereka. Gambar visual, seperti gambar atau diagram bundar, mungkin membantu klien untuk memahami ruang kehidupan mereka. Dan juga, gambar visual dalam bentuk gambar mungkin membantu klien dalam memahami sumber-sumber dukungan dan pengharapan yang harus mereka penuhi ketika mereka maju ke depan.
Langkah 7: Implementasi dan Evaluasi dari Intervensi yang Digunakan
Secara khusus implementasi membutuhkan klien untuk melakukan strategi yang telah diidentifikasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditelah dirancang. Saya setuju dengan Gysbers dan koleganya (2003), yang menyarankan bahwa persiapan untuk setiap tingkatan proses konseling mulai dengan seseorang yang mendahuluinya dan mungkin seorang yang lebih awal. Pada permualaannya, Admudson (2003) menyarankan bahwa konselor karir membentuk kerangka proses dalam hal kebutuhan untuk keterlibatan yang aktif oleh kedua belah pihak. Para ahli post-modern, seperti Ivey dan koleganya (2001) juga menyatakan bahwa pada semua jenis konseling adalah sebuah usaha patungan. Mereka menyatakan, sebagaimana telah menjadi sebuah tema dalam bab ini, bahwa keterlibatan anggota keluarga atau kelompok sangat penting untuk kebanyakan klien, jika tidak semuanya. Ini menunjukkan bahwa sebuah unsure kunci dalam implimentasi klien adalah kepercayaan diri dengan yang mana mereka melakukan pendekatan dengan tugas yang disusun sebelum hal tersebut. Konselor karir harus mengajarkan kemahiran yang dibutuhkan untuk membawa dirinya dan informasi yang kontekstual yang telah diraih dalam proses penilaian dan menerapkan hal ini dalam membuat sebuah karir atau gaya hidup yang baru. Tindak lanjut dan evaluasi dari kesusksesan perusahaan seharusnya fokus pada tindakan klien dan pada kualitas kerja konselor.

Langkah 8: Advokasi
Ketika sebuah rencana telah dikembangkan dan sekaranglah waktu untuk menerapkannya, mungkin dibutuhkan advokasi dari para konselor karir jika proses implementasinya diharuskan untuk berhasil. Fielder (2000) menyatakan bahwa tujuan dari advokasi adalah untuk mengubah status quo dengan cara merubah agensi sosial, bisnis yang memakai klien, dan organisasi yang melayani mereka. Amandemen 1997 pada IDEA (the Individual with Disabilities Education Act atau Undang-undang Individu dengan Ketidakmampuan Akademik) mensyaratkan anak-anak dengan pengecualian tiu mempuanyai sebuah perubahan pada rencana kerja yang dibadan undang-undangkan ke dalam rencana pendidikan yang ter-individu (individualized eduacatioan plan=IEP). Implementasi dari hal ini sebagai bagian dari undang-undang mensyaratkan bahwa koordinator perubahan bekerja dengan bisnis-bisnis dan industri-industri untuk melaksanakan penilaian saat kerja dan penempatan kerja jangka pendek dan panjang. Dalam banyak contoh, advokasi untuk anak yang mempunyai ketidakmampuan diperlukan. Konselor rehabilitasi dibutuhkan secara etika untuk memberikan advokasi untuk klien mereka dengan para majikan dan lainnya. Kelompok lain yang membutuhkan advokasi adalah para imigran yang baru pindah, khususnya mereka dengan kekurangan dalam bahasa; orang-orang dengan orientasi seksual di luar heteroseksual; orang miskin; dan para anggota etnik dan adat yang merupakan minoritas. Tanggung jawab utama sebuah advokasi adalah kepada kliennya. Advokasi membutuhkan pengambilan resiko. Tujuan utama dari proses advokasi adalah untuk membenarkan permasalahan yang teridentifikasi yang mempengaruhi masuknya pekerjaan dan dengan cara yang lain membatasi dan memarjinalkan orang-orang dalam masyarakat. Advokasi juga membutuhkan informasi yang banyak tersedia di internet. Sebagai contoh, orang Amerika dengan Undang-undang Ketidakmampuan, yang dikeluarkan untuk membatasi diskriminasi terhadap orang-orang dengan kekurangan kemampuan, meminta bahwa para majikan membuat akomodasi yang beralasan untuk orang-orang dengan kekurangan kemampuan (cacat). Jaringan Akomodasi Kerja, ditemukan pada website online dengan alamat http://www.jan.wvu.edu/media/ideas/html, memberikan informasi yang berkaitan dengan akomodasi yang dapat dibuat untuk lebih dari 40 kategori orang cacat. Tiket untuk Kerja dan Undang-undang Peningkatan Insentif Kerja di tahun 1999 (www.yourtickettowork.com/program_info) merupakan program lain yang ditujukan untuk membantu orang-orang yang cacat untuk meningkatkan kesempatan kerja mereka. Informasi yang lain, seperti fakta tentang Diskriminasi Usia pada Undang-undang Pekerjaan di tahun 1967 (terletak di http://eeoc.gov/facts/age/html), juga dapat ditemukan di internet. Website ini dan yang lainnya memberikan informasi legal yang dapat diberikan pada klien dan digunakan dalam sebuah proses advokasi yang bisa juga membuat konselor tetap mendapatkan informasi yang aktual.

Penerapan Model pada Konseling Karir Kelompok
Konseling karir seringkali dilaksanakan dalam bentuk konseling kelompok, yang memunculkan sejumlah perhatian baru. VBMCC dapat digunakan dalam konseling kelompok selama konselor mengakomodasi nilai-nilai kebudayaan dan gaya komunikasi yang disukai oleh klien dan menentukan dampak dari kedua variabel tersebut dalam dinamika kelompok. Perkumpulan bagi Para Ahli dalam Kerja Kelompok (Association for Specialists in Grouo Work=ASGW, 1999) mempublikasikan Prinsip untuk Kompetensi yang Berbeda para Pekerja Kelompok, yang dikembangkan sebagai sebuah petunjuk untuk para pemimpin yang terlibat dalam konseling kelompok debgan orang-orang yang dalam kelompok ras/etnik minoritas, gay, lesbian, biseksual, cacat, dan lain-lain. Petunjuk umum ini menyatakan bahwa pemimpin kelompok:
1. Mengembangkan tinggkatan yang tinggi akan kesadaran diri, termasuk kesadaran diri terhadap stereo-tipe yang mereka mungkin pegang tentang orang-orang yang berbeda dengan mereka sendiri.
2. Mendapatkan pengetahuan tentang karakterisktik konteks dari kelompok dengan yang mana mereka berkeja.
3. Memahami interaksi diantara teknik, teori, dan dinamika kelompok dan karakteristik dan pandangan luas dari kelompok klien yang berbeda.
4. Menghargai perbedaan-perbedaan dalam pandangan luas, agama, adapt-istitadat, dan lain sebagainya.
5. Memahami sumber-sumber dan dampak-dampak kebiasan dalam instrumen penilaian.
6. Secara kultural menggunakan gaya komunikasi yang tepat, menghargai kesukaan pemakaian bahasa, dan membuat penyerahan saat tepat untuk bahasa yang disukai dari anggota kelompok.
7. Sensitif terhadap bagaimana tekanan, diskriminasi, dan prasangka yang mungkin telah berdampak pada anggota kelompok.
8. Mendidik anggota kelompok tentang pendekatan konselor untuk konseling konselor.
9. Bekerja untuk mengurangi stereo-tipe dan sumber kebiasan dan prasangka yang lain dalam kelompok.
10. Berkonsultasi dengan penyembuh kesukuan dan pemimpin keagamaan dan spiritual dari anggota kelompok ketika terjadi kecocokan.

Penyaringan anggota kelompok merupakan langkah pertama dalam proses kepemimpinan dalam kelompok (Jacobs, Masson, & Harvill, 2002). Penilaian dari nilai-nilai dari anggota kelompok yang potensial merupakan sebuah aspek dari proses penyaringan. Nilai sosial dan kontrol-pribadi merupakan nilai utam yang sangat penting. Sebagai contoh, nilai sosial mempengaruhi anggota kelompok dalam berinteraksi dengan pemimpin kelompok dan anggota kelompok yang lain. Anggota kelompok dengan nilai sosial hirarki kolateral mungkin akan lebih tinggi dalam menghargai pemimpin, sedangkan mereka yang individu dengan nilai sosial yang independen mungkin merasa bahwa pemimpin itu sama rata. Pilihan pengambilan keputusan didikte pada sebuah tingkatan tertentu oleh nilai-nilai sosial dari anggota kelompok, dan pilihan ini hendaknya diketahui selama proses penyaringan. Dengan jelas, anggota yang dengan nilai kontrol pribadi hendaknya tidak ditempatkan pada kelompok yang membutuhkan tingkatan yang tinggi pada penyingkapan pribadi.
Proses penyaringa juga merupakan waktu yang paling baik dalam menentukan apakah anggota kelompok mempunyai kebiasan/prasangka yang akan menghalangi mereka untuk berinteraksi dengan cara yang positif pada anggota kelompok yang lain. Pertanyaan-pertanyaan berikut mungkin dapat digunakan untuk mendapatkan bias, prasangka, dan stereo-tipe.
1. Akankah kamu merasa nyaman berada dalam sebuah kelompok dengan orang-orang yang mempunyai sebuah orientasi seksual yang berbeda dengan kamu?
2. Bagaimana kamu merasa berada dalam sebuah kelompok dengan orang-orang yang berbeda ras dengan kamu? Latar belakang etnik? Dengan pandangan keagamaan yang berbeda?
3. Apa pengalaman kamu dengan orang-orang yang cacat? Akankah kamu akan merasa nyaman berinteraksi dengan orang yang cacat yang berada dalam satu kelompok dengan kamu?
4. Apakah ada jenis individu tertentu yang hendaknya dibuang manakala kamu harus berpartisipasi dalamm kelompok?
Konten dalam kelompok akan tergantung pada tingkatan pengembangan karir individu dalam kelompok dan kebutuhan mendesak mereka. Meskipun ASGW (1999) menyatakan bahwa pemimpin kelompok perlu untuk menerima peranan dari para pendidik, atau ketika saya lebih suka, interpreter kebudayaan, untuk membantu anggota kelompok memahami setiap posisi anggota yang lain. Lebih lanjut, pemimpin kelompok mungkin harus memecahkan kembali masalah konflik yang menaik pada kelompok dan hendaknya disiapkan untuk menghalangi dengan penekanan kuat untuk mengurangi konflik. Hal ini termasuk pemecatan orang-orang dari kelompok yang tidak dapat menghormati perbedaan-perbedaan dalam kelompok.

Pengembangan Teori Anda Sendiri
Di awal edisi ini, digambarkan beberapa teori tentang pilihan pekerjaan dan pengembangan karir (lihat Bab 2 dan 3). Karena lebih pada pembahasan singkat mengenai teoiri ini, ini belum nampak jelas bahwa hal tersebut akan berperan sebagai sebuah dasar untuk konseling karir. Meskipun, ketika dari banyak teori yang ada diminta untuk menerapkan teori mereka dalam sebuah penggambaran kasus, kebanyakan dari teori itu akan dapat melakukannya tanpa adanya kesulitan (Brown & Brooks, 1991). Akan tetapi, sebagaimana Srebalus, Maranelli, dan Messing (1982) tuliskan, kajian teori pada kebanyakan contoh dimaksudkan untuk menjadi sebauh stimulus untuk para peserta pelatihan untuk mengembangkan teori mereka sendiri. Mereka menyatakan bahwa teori pilihan pekerjaan dan pengembangan karir perlu untuk diintegrasikan dengan teori konseling umum, teori personalitas, dan teori perubahan perilaku, sebauh rekomendasi yang nampak dibenarkan tingkatan yang diberikan dari evolusi teori pilihan pekerjaan dan pengembangan karir.
Banyak konselor telah mengembangkan pendekatan mereka sendiri tentang konseling karir. Sreabalus dan koleganya (1982) menyatakan bahwa faktor-faktor berikut ini perlu dipikirkan sebagai konselor dimana para peserta pelatihan mengembangkan sebuah pendekatan tentang konseling karir: fondasi, penggambaran klien, pernyataan tentang masalah dan tujuan klien, gagasan mengenai bagaimana memberikan konsultasi dengan klien, gagasan tentang hubungan konseling, keyakinan tentang bagaimana permasalahan itu didiagnosa, pengembangan strategi konseling yang menimbulkan perubahan, dan pendekatan-pendekatan untuk mengevaluasi hasil konseling.
Fondasi/dasar “teori” dari kebanyakan konselor mungkin menyabang dari dua sumber: teori formal dan teori informal dari pengfungsian manusia (Strohmer & Newman, 1983). Semua peserta pelatihan datang ke program persiapan konselor dengan sebuah rancangan keyakinan tentang bagaimana orang berkembang dan berubah, meskipun mungkin hal ini belum dilafalkan dengan hati-hati. Pada permulaan kebanyakan program pelatihan, para peserta pelatihan diberikan banyak teori termasuk yang berupaya untuk menjelaskan perkembangan manusia, formasi kepribadian, pembelajaran, perubahan melalui konseling dan terapi, dan perubahan pekerjaan dan pengembangan karir. Dalam program yang tergagas dengan baik, para siswa selanjutnya dipandu untuk menggabungkan teori formal tersebut dengan sistem keyakinan pribadi mereka untuk mengembangkan model konseling mereka sendiri. Lebih lanjut, para siswa meninggalkan alat mereka sendiri untuk mengembangkan pendekatan personal terhadap konseling. Hal ini disarankan bahwa konselor karir prospektif mulai untuk menformulasikan model mereka sendiri dari konseling karir dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dibawah ini:
1. Apa saja keyakinan pribadi saya mengenai kemurnian manusia? Apakah manusia secara esensi energi dan termotivasi oleh pribadinya atau oleh alam, malas dan butuh adanya motivasi eksternal? Tekanan apa yang menyebabkan orang tumbuh dan berubah? Apa yang memperlambat proses tersebut?
2. Dengan memperhatikan teori formal perkembangan manusia, bagaimana perkembangan normal itu terjadi?
3. Bagaimana ketertarikan dan nilai keja itu berkembang? Mengapa keduanya berubah? Bagaimana saya dapat mengukur keduanya?
4. Apa indikasi dari perilaku abnormal? Mengapa indikasi itu berubah? Bagaimana saya mengukur perilaku tersebut?
5. Bagaimana peranan kerja berinteraksi dengan peranan kehidupan yang lain? Bagaimana peranan tersebut dapat diinteraksikan? Apa yang terjadi jika ada konflik pada peranan kehidupan terjadi? Bagaimana peranan kerja dan peranan yang lain dibawa ke dalam harmoni?
6. Bagaimana saya membangun hubungan dengan klien saya?
7. Bagaimana saya menggunakan informasi dari tes dan inventaris pada konseling?
8. Bagaimana saya menilai kepuasan kerja? Bagaimana saya dapat memudahkan proses tersebut?
9. Bagaimana saya dapat memotivasi klien yang tidak termotivasi?
10. Apa permasalahan yang mungkin dalam menyediakan konseling karir untuk klien dari kebudayaan yang lain? Bagaimana hal ini dapat dihindari atau diperbaiki jika itu muncul?
11. Bagaimana saya mengevaluasi hasil dari kerja saya?

Kesimpulan
Pada Bab 2, 3, dan 4 sejumlah pendekatan pada konseling karir telah dibahas, utamanya ketika yang berkaitan dengan teori pemilihan karir dan perkembangan karir. Mudah-mudahan presentasi ini memerankan dua tujuan; (1) untuk mengilustrasikan teori yang kita gunakan untuk menjelaskan perkembangan karir dengan implikasi praktikal dan (2) untuk menyediakan para praktisi dengan beberapa model yang dapat digunakan dalam pekerjaan atau sebagai dasar dalam membangun teori mereka sendiri. Tema dari semua presentasi ini untuk mengembangkan pelaksanaan-pelaksanaan yang secara kultural sensitive. Seperti yang telah ditunjukkan, pemikiran tentang konseling karir multicultural sama beragamnya dengan teori pemilihan dan perkembangan karir yang sudah dimajukan. Pendekatan berdasarkan pada nilai-nilai yang ditampilkan dalam bab ini didasarkan pada gagasan bahwa nilai kebudayaan merupakan faktor penentu yang kuat dari cara yang mana orang-orang melakukan pendekatan untuk pemecahan masalah, hubungan, dan komunikasi. Konselor karir yang mampu dengan sensitive melihat alaminya nilai-nilai seorang klien mungkin kurang membuat kesalahan hebat dari ketidaksensitifan kebudayaan.

1 Response to "konseling karir"

tulisan yang sangat bagus, kritis dan membangun…. trim’s

Tinggalkan komentar


  • Tidak ada